Kemarin sore, selesai meeting
dengan bos mendadak ada kehebohan karena dapat jatah buku gratis. Kalau
tiap bulan ada yang mau bagi buku enak juga ya, lumayan jatah beli buku
bisa dialihkan ke pos yang lain. Sebenarnya tiap awal bulan saya
sempatkan untuk menebus buku yang sudah diincar sebelumnya di toko buku
langganan untuk menambah bahan bacaan. Jatahnya minimal satu buku
sebulan, tergantung tebal tipis dan berat tidaknya isi buku karena hal
ini akan berdampak pada niat serta proses membaca. Tapi kalau lagi kalap
terlebih bila terdengar rayuan pulau kelapa belanja dengan kartu ini
dapat diskon sekian, maka buku yang dibawa pulang bisa buat bantal ;).
Dengan dapat satu buku gratis bulan ini, jadinya gak beli buku donk
karena akhir bulan lalu sudah belanja buku.
Jujur
buku ini belum masuk dalam daftar antrian belanja, tapi karena ada yang
memberi masa ditolak? Sebuah buku otobiografi yang sekarang lagi heboh
karena ghost writer-nya angkat bicara dan menuntut karena namanya tidak tercantum di buku tersebut. Setahu saya, ghost writer
bekerja di belakang layar dan banyak dikaryakan oleh penulis kondang
karena kejar target ataupun orang-orang top yang tak memiliki banyak
waktu untuk menuliskan otobiografi mereka tapi kredit penulisnya
diberikan kepada orang lain. Setelah membaca buku Chairul Tanjung, Si
Anak Singkong, ternyata nama ghost writer-nya disebut sebagai sahabat dalam bersepeda penyusun yang telah membantu mentranskrip sebagian hasil wawancara. Jadi, memang nama ghost writer tak akan tercantum sebagai penulis di buku itu. Karena saya tak banyak paham tentang ghost writer,
maka tulisan ini bukan untuk meramaikan kasak-kusuk tersebut tapi akan
mencoba mengulas isi buku tanpa melihat siapa penulisnya.
CT lahir sebagai anak kedua dari enam orang bersaudara, ayahnya
Abdul Gafar Tanjung berdarah Batak dan ibunya Halimah, seorang Sunda.
Usaha percetakan ayahnya dibredel oleh Soeharto karena berbeda paham
dengan pemerintah. Hal ini berdampak pada perekonomian keluarga, sumber
penghasilan ditutup, ayahnya bangkrut! Setelah menjual semua aset
termasuk rumah, mereka sekeluarga menyewa satu kamar di
sebuah losmen. Tak kuat dengan beban sewa kamar, keluarga mereka
akhirnya pindah ke kawasan kumuh Jakarta, Gang Abu, Batutulis, Kecamatan
Gambir. Di tengah keterbatasan ekonomi keluarga yang terpuruk, orang
tua CT tetap mengedepankan pendidikan bagi anak-anaknya. Sejak di bangku
SMP, CT mulai aktif berorganisasi dari kegiatan pramuka, olahraga,
teater bahkan punya grup ngamen yang diberi nama Proletar. Dalam satu
kepanitiaan study tour ke luar kota, CT dipercaya menjadi
koordinator transportasi. Setelah semua urusan bus beres, CT melepas
keberangkatan rombongan kawan-kawannya dengan hati perih. Upah sang ayah
dari mengelola perusahan bus hanya Rp 5,000 sedang biaya study tour Rp 15,000.
Bermodalkan
hasil penjualan kain halus ibunya seharga Rp 75,000, selepas SMA CT
melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Universitas negeri
dipilihnya untuk menghindari biaya pendidikan yang tinggi dan diterima
di fakultas Kedokteran Gigi,Universitas Indonesia. Dari segi biaya
pendidikan murah tapi dari biaya peralatan yang digunakan untuk praktek
tetap saja mahal. Untuk menyiasatinya, CT melakukan berbagai usaha dan
tidak mau bergantung pada orang tuanya. Dari bisnis fotokopi diktat
kuliah yang membuahkan hasil, dia merambah ke bisnis jual beli peralatan
dokter gigi, jual beli mobil bekas hingga mendirikan perusahaan pada
1987. Sebagai penghargaan dan terima kasih kepada gurunya, alumni SMA
Boedi Oetomo ini pernah mengumpulkan semua guru yang dulu mengajarnya
semasa SMA di Gedung Menara Bank Mega, Jakarta. Bahkan ada satu guru
yang dengan susah payah dibujuk hingga dijemput ke Medan agar mau datang
ke reuni karena merasa tak punya masalah dengan bank dan tidak mengenal
siapa CT.
Meski
dua kali ditawari SBY untuk masuk jajaran pemerintahan, namun CT selalu
menampiknya dengan halus. Menurutnya, cukuplah almarhum bapaknya saja
yang begitu idealis memperjuangkan ideologi hingga dihentikan secara
struktural di era Soeharto karena berseberangan pemikiran.
Saya
menempuh jalur perjuangan yang lain, menciptakan lapangan kerja untuk
sesama. Membuktikan bahwa anak bangsa dari keluarga sederhana, dengan
tekad yang kuat dan dengan latar belakang tidak relevan, bisa membuahkan
keberhasilan.
Bagi
pria berperawakan tinggi besar ini, ibu adalah segalanya dan istri
adalah pilar rumah tangga. CT meminang adik kelasnya dari FKG-UI, Anita
Ratnasari dan menikah pada 1994. Delapan belas tahun mengarungi bahtera
rumah tangga, mereka dikaruniai dua anak Putri Indahsari dan Rahmat
Dwiputra.
Dengan
mengutip sebuah petuah yang acap kali dikumandangkan oleh CT kepada
para sahabat dari masa SMP setiap kali mereka bertemu, secara pribadi
saya berpendapat buku ini benar-benar menginspirasi siapa saja yang
ingin meraih sukses lewat ketekunan dan usaha keras.
Kalau
kalian mau menggunakan badan saya supaya kalian maju, silakan. Kalau
pun mau menginjak kepala saya sebagai tolakan kalian untuk lebih maju,
saya ikhlaskan, Tapi kalau sudah kalian injak,
tapi malah tidak jadi apa-apa, saya pasti akan marah besar. Selagi saya
masih bisa makan, tidaklah mungkin kalian kelaparan. Kecuali untuk
makan sendiri saja saya sudah kesulitan, silakan urus diri masing-masing.- [Chairul Tanjung, si Anak Singkong, hal 80]
Pemuda
kampung warga Gang Abu yang dulu punya kegemaran berlama-lama membaca
koran di WC Umum di pojok kampung kumuh kawasan Batutulis, Gambir,
Jakarta Pusat ini; kini tak lagi hidup di kawasan paling kumuh Jakarta.
Bila kejujuran sudah tertanam pada diri seseorang, maka dengan
sendirinya semua akan berjalan tanpa perintah bahkan tidak perlu ada
pengawasan berlebih. Dari tiada menjadi ada, CT yang dulu tak dipandang
sebelah mata; kini seorang pengusaha nasional di bidang keuangan,
properti, perkebunan dan media di bawah payung Chairul Tanjung Corpora
(CT Corp). Satu ambisinya yang belum terealisasi dan sedang dilirik
adalah maskapai penerbangan.[oli3ve]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar